Jika Istri Lama Tak Dinafkahi Apakah Otomatis Cerai? - Apabila ada wanita tidak dinafkahi selama berbulan-bulan, tak hanya berbulan-bulan ada juga yang sampai bertahun-tahun, apakah berarti sudah cerai? Suami kerja di rantau, tak pernah kirim kabar maupun nafkah. Maka kita akan perhatikan beberapa catatan berikut,
Pertama, saat manusia menikah, jadi masing-masing pasangan, telah memiliki hak dan kewajiban. Memberi nafkah menjadi kewajiban dan tanggung jawab terbesar suami. Sementara itu melayani suami adalah tanggung jawab terbesar bagi istri.
Pertama, saat manusia menikah, jadi masing-masing pasangan, telah memiliki hak dan kewajiban. Memberi nafkah menjadi kewajiban dan tanggung jawab terbesar suami. Sementara itu melayani suami adalah tanggung jawab terbesar bagi istri.
![]() |
Jika Istri Lama Tak Dinafkahi Apakah Otomatis Cerai? |
Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. an-Nisa’: 34)
Allah sebut suami sebagai pemimpin, supaya istri dan anggota keluarga tunduk dan taat kepadanya, asalkan bukan untuk maksiat.
Di ayat lain, Allah berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Kedua, ketika salah satu atau bahkan kedua orang dari pasangan itu tidak menjalankan kewajibannya, BUKAN berarti nikah menjadi batal. Karena nikah tetap sah dan tidak otomatis cerai, walaupun suami meninggalkan tanggung jawabnya atau istri tidak menjalankan kewajibannya. Karena pelanggaran tanggung jawab dan kewajiban yang dilakukan oleh kedua pasangan dalam satu keluarga, namun bukan penyebab perceraian. Jadi ketika suami yang tidak memberi nafkah, pernikahan tidak otomatis cerai, sebagaimana ketika istri tidak mau taat kepada suami, pernikahan tidak langsung cerai.
Kita bisa simak ayat berikut,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Para istri yang kalian khawatirkan melakukan nusyuz, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.. (QS. An-Nisa: 34).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan, ketika terjadi pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh istri, dengan melakukan nusyuz, Allah tidak menghukumi pernikahan mereka batal. Namun Allah berikan solusi dan saran, untuk perbaikan keluarga. Jika kedurhakaan yang dilakukan istri membatalkan pernikahan, tentu tidak perlu lagi solusi semacam ini. Karena mereka sudah bercerai.
Demikian pula ketika suami yang melakukan nusyuz. Suami menampakkan rasa bosan kepada istrinya, sehingga malas untuk tinggal bersama istrinya. Dan bahkan tidak dinafkahi. Jadi dalam kasus ini, istri berhak mengajukan sulh (berdamai), dengan melepaskan sebagian haknya yang menjadi kewajiban suaminya, itu dalam rangka mempertahankan keluarga.
Artinya, posisi suami yang melanggar kewajiban, maka tidak menyebabkan kaluarga otomatis cerai. Allah berfirman,
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (QS. An-Nisa: 128).
Ketiga, bahwasanya perceraian sifatnya resmi. Jadi artinya harus ada pernyataan dari pihak yang berwenang. Apabisa suami yang menjatuhkannya atau pengadilan. Maka selama kedua pasangan beragama yang sama.
Imam Ibnu Baz menjelaskan, dalam kondisi apa seorang wanita bisa dianggap telah ditalak. Jadi seorang wanita berstatus ditalak apabila,
Suami menjatuhkan talak kepadanya
Ketika menjatuhkan talak, si suami sehat akal, sedang tidak dipaksa, atau tidak gila, tak mabuk, atau semacamnya
Ketika menjatuhkan talak, yakinkan istrinya sedang suci (tidak sedang haid) dan belum digauli, sedang hamil, atau sudah menapause.
(Fatawa at-Talak Ibnu Baz, 1/35)
Termasuk juga, si suami pergi lama tanpa meninggalkan kabar. Memang yang ini jelas pelanggaran dan kedzaliman. Akan tapi pernikahan tetap sah.
Dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan Baihaqi dinyatakan, "Umar radhiyallahu ‘anhu, mengirim surat kepada para pemimpin pasukan, memerintahkan untuk para suami yang meninggalkan istrinya, agar mereka memberikan nafkah atau mentalaknya. Jika mereka mentalak istrinya, mereka harus mengirim jatah nafkah selama dia tinggalkan dulu.
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa surat ini shahih dari Umar bin Khatab. (HR. Baihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’, 2158).
Keempat, ketika salah satu dari kedua pasangan tidak melaksanakan kewajibannya, baik karena kesengajaan atau karena keterbatasan, maka pihak yang didzalimi haknya, boleh mengajukan pisah.
Allah melarang suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istrinya, untuk mempertahankan istrinya, agar bisa semakin mendzliminya. Dia buat istrinya terkatung-katung, punya suami tidak pernah tanggung jawab.
Allah berfirman,
وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Janganlah kamu pertahankan (dengan rujuk) mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah: 231)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, suami yang telah menceraikan istrinya, hingga mendekati habisnya masa iddah, maka suami punya 2 pilihan:
Dirujuk dengan maksud baik, dalam rangka membangun keluarga yang sakinah
Dilepas jika tidak lagi menghendaki bersama istrinya.
Demikian pula wanita, yang berhak untuk gugat cerai apabila suaminya tidak menjalankan kewajibannya. Timbal balik, sebagaimana suami tidak boleh menyusahkan istrinya, istri juga boleh membebaskan dirinya dari kesusahan yang disebabkan kedzaliman suaminya.
Sayid Sabiq mengatakan,
وإن على القاضي أن يزيل هذا الضرر. وإذا كان من المقرر أن يفرق القاضي من أجل الغيب بالزوج فإن عدم الانفاق يعد أشد إيذاءا للزوجة وظلما لها من وجود عيب بالزوج، فكان التفريق لعدم الانفاق أولى
Wajib bagi hakim (KUA) untuk menghilangkan sesuatu yang membahayakan istri. Ketika dipahami bahwa hakim boleh memisahkan suami istri karena suami lama menghilang, sementara tidak memberi nafkah termasuk menyakiti dan mendzlimi istri, lebih menyakitkan dari pada sebatas adanya aib pada suami, maka wewenang hakim untuk memisahkan suami istri karena tidak memberi nafkah, lebih kuat. (Fiqh Sunah, 2/288).
Meskipun solusi pisah sebisa mungkin dijadikan pemecahan terakhir, semoga masih memungkinkan diperbaiki.
Demikian, Allahu a’lam. Demikian adalah Jika Istri Lama Tak Dinafkahi Apakah Otomatis Cerai? simak juga Saat Suami Menyakiti Istri Maka Ia Durhaka Pada Allah.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. an-Nisa’: 34)
Allah sebut suami sebagai pemimpin, supaya istri dan anggota keluarga tunduk dan taat kepadanya, asalkan bukan untuk maksiat.
Di ayat lain, Allah berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Kedua, ketika salah satu atau bahkan kedua orang dari pasangan itu tidak menjalankan kewajibannya, BUKAN berarti nikah menjadi batal. Karena nikah tetap sah dan tidak otomatis cerai, walaupun suami meninggalkan tanggung jawabnya atau istri tidak menjalankan kewajibannya. Karena pelanggaran tanggung jawab dan kewajiban yang dilakukan oleh kedua pasangan dalam satu keluarga, namun bukan penyebab perceraian. Jadi ketika suami yang tidak memberi nafkah, pernikahan tidak otomatis cerai, sebagaimana ketika istri tidak mau taat kepada suami, pernikahan tidak langsung cerai.
Kita bisa simak ayat berikut,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Para istri yang kalian khawatirkan melakukan nusyuz, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.. (QS. An-Nisa: 34).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan, ketika terjadi pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh istri, dengan melakukan nusyuz, Allah tidak menghukumi pernikahan mereka batal. Namun Allah berikan solusi dan saran, untuk perbaikan keluarga. Jika kedurhakaan yang dilakukan istri membatalkan pernikahan, tentu tidak perlu lagi solusi semacam ini. Karena mereka sudah bercerai.
Demikian pula ketika suami yang melakukan nusyuz. Suami menampakkan rasa bosan kepada istrinya, sehingga malas untuk tinggal bersama istrinya. Dan bahkan tidak dinafkahi. Jadi dalam kasus ini, istri berhak mengajukan sulh (berdamai), dengan melepaskan sebagian haknya yang menjadi kewajiban suaminya, itu dalam rangka mempertahankan keluarga.
Artinya, posisi suami yang melanggar kewajiban, maka tidak menyebabkan kaluarga otomatis cerai. Allah berfirman,
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (QS. An-Nisa: 128).
Ketiga, bahwasanya perceraian sifatnya resmi. Jadi artinya harus ada pernyataan dari pihak yang berwenang. Apabisa suami yang menjatuhkannya atau pengadilan. Maka selama kedua pasangan beragama yang sama.
Imam Ibnu Baz menjelaskan, dalam kondisi apa seorang wanita bisa dianggap telah ditalak. Jadi seorang wanita berstatus ditalak apabila,
Suami menjatuhkan talak kepadanya
Ketika menjatuhkan talak, si suami sehat akal, sedang tidak dipaksa, atau tidak gila, tak mabuk, atau semacamnya
Ketika menjatuhkan talak, yakinkan istrinya sedang suci (tidak sedang haid) dan belum digauli, sedang hamil, atau sudah menapause.
(Fatawa at-Talak Ibnu Baz, 1/35)
Termasuk juga, si suami pergi lama tanpa meninggalkan kabar. Memang yang ini jelas pelanggaran dan kedzaliman. Akan tapi pernikahan tetap sah.
Dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan Baihaqi dinyatakan, "Umar radhiyallahu ‘anhu, mengirim surat kepada para pemimpin pasukan, memerintahkan untuk para suami yang meninggalkan istrinya, agar mereka memberikan nafkah atau mentalaknya. Jika mereka mentalak istrinya, mereka harus mengirim jatah nafkah selama dia tinggalkan dulu.
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa surat ini shahih dari Umar bin Khatab. (HR. Baihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’, 2158).
Keempat, ketika salah satu dari kedua pasangan tidak melaksanakan kewajibannya, baik karena kesengajaan atau karena keterbatasan, maka pihak yang didzalimi haknya, boleh mengajukan pisah.
Allah melarang suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istrinya, untuk mempertahankan istrinya, agar bisa semakin mendzliminya. Dia buat istrinya terkatung-katung, punya suami tidak pernah tanggung jawab.
Allah berfirman,
وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Janganlah kamu pertahankan (dengan rujuk) mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah: 231)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, suami yang telah menceraikan istrinya, hingga mendekati habisnya masa iddah, maka suami punya 2 pilihan:
Dirujuk dengan maksud baik, dalam rangka membangun keluarga yang sakinah
Dilepas jika tidak lagi menghendaki bersama istrinya.
Demikian pula wanita, yang berhak untuk gugat cerai apabila suaminya tidak menjalankan kewajibannya. Timbal balik, sebagaimana suami tidak boleh menyusahkan istrinya, istri juga boleh membebaskan dirinya dari kesusahan yang disebabkan kedzaliman suaminya.
Sayid Sabiq mengatakan,
وإن على القاضي أن يزيل هذا الضرر. وإذا كان من المقرر أن يفرق القاضي من أجل الغيب بالزوج فإن عدم الانفاق يعد أشد إيذاءا للزوجة وظلما لها من وجود عيب بالزوج، فكان التفريق لعدم الانفاق أولى
Wajib bagi hakim (KUA) untuk menghilangkan sesuatu yang membahayakan istri. Ketika dipahami bahwa hakim boleh memisahkan suami istri karena suami lama menghilang, sementara tidak memberi nafkah termasuk menyakiti dan mendzlimi istri, lebih menyakitkan dari pada sebatas adanya aib pada suami, maka wewenang hakim untuk memisahkan suami istri karena tidak memberi nafkah, lebih kuat. (Fiqh Sunah, 2/288).
Meskipun solusi pisah sebisa mungkin dijadikan pemecahan terakhir, semoga masih memungkinkan diperbaiki.
Demikian, Allahu a’lam. Demikian adalah Jika Istri Lama Tak Dinafkahi Apakah Otomatis Cerai? simak juga Saat Suami Menyakiti Istri Maka Ia Durhaka Pada Allah.
*Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar